skip to main | skip to sidebar

Annisaa El Husna Blog's

  • Entries (RSS)
  • Comments (RSS)
  • Home
  • About Us
  • Archives
  • Contact Us

Selasa, 06 Mei 2014

JURNAL PENYELESAIAN SENGKETA 3

Diposting oleh Unknown di 15.28


JUDUL JURNAL :
ANALISIS MENGENAI CARA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

IDENTITAS PENGARANG :

Hj. MUSKIBAH, S.H., M.H.

ISI :


Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diatur dalam UUPK No. 8 Tahun 1999 Bab XI Pasal 49 sampai Pasal 58. Pada Pasal 49 ayat (1) dinyatakan bahwa pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Badan ini merupakan peradilan kecil (Small Claim Court) yang melakukan persidangan dengan menghasilkan keputusan secara cepat,sederhana dan dengan biaya murah sesuai dengan asas peradilan. Disebut cepat karena harus memberikan keputusan dalam waktu maksimal 21 hari kerja ( Pasal 55), dan tanpa ada penawaran banding yang dapat memperlama proses pelaksanaan keputusan (Pasal 56 dan Pasal 58). Sederhana karena proses penyelesaiannya dapat dilakukan sendiri oleh pihak yang bersengketa, dan murah karena biaya yang dikeluarkan untuk menjalani proses persidangan sangat ringan.
Keanggotaan BPSK terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen,dan unsur pelaku usaha,yang masing-masing unsur diwakili oleh 3-5 orang, yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (Pasal 49 ayat(3) dan ayat (5)UUPK ).

Tugas dan wewenang BPSK berdasarkan ketentuan Pasal 52 UUPK antara lain, Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara mediasi, arbitrase dan atau konsiliasi. Untuk menindaklanjuti ketentuan undang-undang tersebut,Menteri Perindustrian dan perdagangan RI telah mengeluarkan SK No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK diselesaikan melalui cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase, yang dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan, dan bukan merupakan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang (Pasal 4 UUPK).
Prosedurnya cukup sederhana, konsumen yang bersengketa dengan pelaku usaha bisa langsung datang ke BPSK Provinsi dimana mereka berada dengan membawa permohonan penyelesaian sengketa, mengisi form pengaduan dan juga berkas-berkas/dokumen yang mendukung pengaduannya. Pihak-pihak yang berpekara di BPSK tidak dikenai biaya perkara alias gratis. Sementara biaya operasional BPSK ditanggung APBD. Selain bebas biaya, prosedur pengaduan konsumen
pun cukup mudah, yaitu hanya membawa barang bukti atau bukti pembelian/pembayaran, dan kartu identitas (KTP). Formulir pengaduan disediakan di sekretariat BPSK. Pihak BPSK lalu akan melakukan pemanggilan pada pihak-pihak yang bersengketa guna dipertemukan dalam prasidang.

Dari prasidang itu bisa ditentukan langkah selanjutnya apakah konsumen dan pelaku usaha masih bisa didamaikan atau harus menempuh langkah-langkah penyelesaian yang telah ditetapkan antara lain dengan konsiliasi, mediasi, atau arbitrase. Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dalam bentuk kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, yang dikuatkan dalam bentuk keputusan BPSK (SK No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 6). Putusan yang dikeluarkan BPSK dapat berupa perdamaian, gugatan ditolak, atau gugatan dikabulkan. Meski memiliki kewenangan dalam memutuskan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha, tetapi tidak banyak konsumen yang mau mempercayakan penyelesaian sengketanya kepada BPSK. Hal ini disebabkan substansi pengaturan, prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa banyak mengandung kelemahan dan saling bertentangan sehingga BPSK tidak dapat berperan banyak dalam penyelesaian sengketa konsumen.

Menurut S. Sothi Rachagan di dalam Al Wisnubroto7 ada beberapa prinsip yang musti harus dipenuhi dalam pengelolaan lembaga penyelesaian sengketa konsumen : 
1. Aksesibiltas yakni bagaimana mengupayakan agar lembaga penyelesaian sengketa konsumen dapat diakses seluas-luasnya oleh masyarakat. Prinsip ini meliputi elemen-elemen seperti : biaya murah, prosedur yang sederhana dan mudah, pembuktian yang fleksibel, bersifat komprehensif ,mudah diakses langsung, dan tersosialisasi serta tersedia di berbagai tempat.
2. Fairness dalam arti keadilan lebih diutamakan daripada kepastian hukum sehingga sebuah lembaga penyelesaian sengketa konsumen setidaknya harus bersifat mandiri (independent) dan dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat (public accountability).
3. Efektif, lembaga penyelesaian sengketa harus dibatasi cakupan perkaranya (kompleksitas dan nilai klaim) dan setiap perkara yang masuk harus diproses secepat mungkin tanpa mengabaikan kualitas penanganan perkara.

Dalam hubungan tersebut diatas, agar BPSK sebagai lembaga yang diberi wewenang untuk menyelesaikan sengketa konsumen dapat berperan aktif, perlu penguatan peran BPSK dimasa akan datang, yaitu pertama dengan perubahan terhadap kaedah-kaedah yang mengatur BPSK, kedua mendesain BPSK dengan memadukan model pengadilan dan model ADR (Altenative Dispute Resolution) yang “khas” Indonesia. Hal ini Nampak misalnya dari konsep BPSK yang didasarkan UUPK merupakan salah satu lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan, namun dalam proses penyelesaian perkara diatur dengan “ hukum acara” yang amat prosedural layaknya hukum acara perdata di pengadilan negeri


DAFTAR PUSTAKA :


Endang Sri Wahyuni, 2003, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Cetakan Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Harian Kompas,2009, Undang-undang Perlindungan Konsumen Persulit Penyelesaian Sengketa.
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung.
Janus Sidabolok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
M. Ali Masyur, 2007, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen, Genta Press, Yogyakarta.
Nasution, AZ, 2003, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Rahmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Susanti Adi Nugroho, 2009, Mencari Ujung Tombak Penyelesaian Sengketa Konsumen, Hukum Online, 9 Mei 2009.
Yusuf Shofie, 2003, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-instrumen Hukumnya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Terhadap Konsumen.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Keputusan Menperindag Nomor 350 Tahun 2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.
Keputusan Menperindag Nomor 301 Tahun 2001 Tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat BPSK.


JUDUL KELOMPOK                 : PENYELESAIAN SENGKETA
NAMA KELOMPOK                :
1.      ANNISAA EL HUSNA A                (20212986)
2.      EKA ERNAWATI                            (22212401)
3.      FITRIYAH                                        (23212020)
4.      SYAHRUL RAMADHAN               (27212242)

KELAS                                      :   2EB12
0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

JURNAL PENYELESAIAN SENGKETA 2

Diposting oleh Unknown di 15.19
JUDUL JURNAL :


ANALISIS MENGENAI CARA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

IDENTITAS PENGARANG :

Hj. MUSKIBAH, S.H., M.H.

ISI :

1 ABSTRAK Secara faktual dalam kehidupan sehari-hari selalu terjadi atau timbul sengketa konsumen. Secara yuridis proses penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat ditempuh dengan menggunakan jalur litigasi (melalui pengadilan) dan jalur non litigasi. Penyelesaian melalui jalur non litigasi dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan cara Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase. BPSK tidak dapat berperan aktif dalam penyelesaian sengketa konsumen, hal ini disebabkan substansi pengaturan, prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa banyak mengandung kelemahan dan saling bertentangan sehingga BPSK tidak dapat berperan banyak dalam penyelesaian sengketa konsumen, terutama yang menyangkut keberatan mengenai putusan konsiliasi atau mediasi, serta penetapan eksekusi sama sekali belum ada pengaturannya. Keywords: . Penyelesaian, Sengketa Konsumen.

I. Pendahuluan

Salah satu masalah yang mendasar dari Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 (UUPK) adalah ketentuan mengenai penyelesaian sengketa konsumen. Untuk menyelesaikan sengketa konsumen, Pasal 45 Ayat (1) UUPK memberikan dua pilihan yaitu menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

Apabila penyelesaian sengketa konsumen dilakukan di luar peradilan menurut Pasal 52 UUPK adalah melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dengan cara melalui mediasi, arbitrase,dan konsiliasi.Gugatan yang sudah diajukan ke BPSK harus ditindaklanjuti oleh BPSK, dan BPSK wajib memberikan putusan. Putusan tersebut berdasarkan Pasal 56 Ayat (2) UUPK bersifat final dan mengikat, dengan kata lain tidak dapat dilakukan banding dan kasasi. Akan tetapi
berdasarkan Pasal 54 Ayat (3) UUPK terhadap putusan tersebut dapat dimintakan upaya hukum (keberatan) ke pengadilan Negeri.

Peluang mengajukan keberatan atas putusan BPSK kepada Pengadilan Negeri adalah bentuk campur tangan demikian besar dari lembaga peradilan umum terhadap penyelesaian sengketa melalui BPSK. Artinya kekuatan putusan dari BPSK secara yuridis masih digantungkan pada supremasi pengadilan sehingga tidak benar-benar final. Sementara dalam praktek pengajuan keberatan atas putusan BPSK di pengadilan Negeri berlaku hukum secara perdata umum, sehingga menambah panjang proses penyelesaian sengketa konsumen.

Persoalan lainnya adalah dalam eksekusi terhadap putusan BPSK, agar mempunyai kekuatan eksekusi, putusan BPSK harus dimintakan penetapan eksekusi ke pengadilan, tetapi aturan mengenai tatacara permohonan eksekusi terhadap putusan BPSK tersebut belum ada.
Berdasarkan hal itu tulisan ini mencoba membahas, bagaimana substansi, dan proses mengenai penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK, guna mewujudkan optimalisasi perlindungan terhadap konsumen.

II. Perumusan Masalah

Masalah yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan upaya untuk mengoptimalisasikan perlindungan terhadap konsumen . Dengan demikian masalah yang akan dibahas adalah :
1. Bagaimana proses penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK.
2. Bagaimana substansi pengaturan mengenai peran dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen.

III.PEMBAHASAN

1. Proses Penyelesaian Sengketa

Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi telekomunikasi dan informatika turut mendukung perluasan ruang gerak transaksi barang dan/atau jasa hingga melintasi batas-batas wilayah suatu Negara. Kondisi demikian pada satu pihak sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen karena kebutuhannya akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat dipenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis barang dan/atau jasa sesuai dengan kemampuannya.
Di lain pihak, kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen dapat menjadi objek aktivitas bisnis dari pelaku usaha melalui iklan, promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian-perjanjian
standar yang merugikan konsumen. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan konsumen, dan rendahnya kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang mengatur tentang perlindungan terhadap konsumen menegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Dengan kata lain UUPK secara tegas telah memberikan jaminan perlindungan terhadap konsumen, jika konsumen dirugikan oleh pelaku usaha.

Penyelesaian sengketa yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha,dapat diselesaikan melalui jalur litigasi (melalui pengadilan) dan jalur nonlitigasi (tidak melalui pengadilan).Penyelesaian, melalui lembaga litigasi dianggap kurang efisien baik waktu, biaya, maupun tenaga,sehingga penyelesaian melalui lembaga non litigasi banyak dipilih oleh masyarakat dalam menyelesaikan sengketa dimaksud. Meskipun demikian pengadilan juga tetap akan menjadi muara terakhir bila di tingkat non litigasi tidak menemui kesepakatan2. Sebagai lembaga yang berwenang menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen, BPSK dalam kewenangannya dapat menempuhnya dengan cara mediasi, konsiliasi atau arbitrase. UU perlindungan konsumen tidak mendefinisikan apa itu mediasi, konsiliasi atau arbitrase di bidang perlindungan konsumen. Hal ini kemudian dijelaskan lebih jauh dalam Keputusan Menperindag No. 350 Tahun 2001 tentang Tugas dan Wewenang BPSK. Dalam Kepmen tersebut, mediasi diartikan sebagai proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Proses konsiliasi mirip dengan mediasi. Bedanya, dalam proses konsiliasi, BPSK hanya mempertemukan para pihak yang bersengketa. Sementara arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK.

Berdasarkan Hasil penelitian3, ada beberapa kendala utama yang dihadapi BPSK dalam mengimplementasikan UU perlindungan konsumen.
1. Kendala Kelembagaan.
2. Kendala Pendanaan.

3. Kendala Sumber Daya Manusia BPSK.
4. Kendala Peraturan.
5. Kendala Pembinaan dan Pengawasan, dan Rendahnya Koordinasi antara Aparat Penanggung Jawab.
6. Kendala Kurangnya Sosialisai Terhadap Kebijakan Perlindungan Konsumen.
7. Kendala Kurangnya Respon Masyarakat Terhadap UU Perlindungan Konsumen dan lembaga BPSK.

Menurut Susanti4: juga menyinggung problem yang muncul dalam eksekusi putusan BPSK. Berdasarkan Pasal 54 Ayat (3) UU Perlindungan Konsumen, putusan BPSK dari hasil konsilitasi, arbitrase,dan mediasi bersifat final dan mengikat.Final berarti dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan para pihak. Prinsip res judicata pro vitatate habetur-suatu putusan yang tidak mungkin lagi untuk dilakukan upaya hukum-dinyatakan sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti. Berdasarkan prinsip demikian, putusan BPSK mestinya harus dipandang sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde). Namun, coba bandingkan prinsip tersebut dengan Pasal 56 Ayat (2) UU Perlindungan Konsumen.Para pihak ternyata masih bias mengajukan ‘ keberatan’ ke Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari setelah pemberitahuan BPSK. Hal ini bertentangan dengan sifat putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat. Masalah juga timbul pada saat eksekusi. Agar mempunyai kekuatan eksekusi, putusan BPSK harus dimintakan penetapan (fiat eksekusi) ke pengadilan. Dalam praktek, tidak mungkin memintakan penetapan eksekusi karena belum ada peraturan atau petunjuk tentang tata cara pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK. Perma No. I Tahun 2006 tentang cara pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK pada hakikatnya hanya mengatur mengenai pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK. Pasal 2 Perma ini menegaskan bahwa yang bias diajukan keberatan adalah terhadap putusan arbitrase BPSK. Sedangkan keberatan mengenai putusan konsiliasi atau mediasi, serta penetapan eksekusi sama sekali tidak diatur.

BPSK ini sebenarnya diadopsi dari model Small Claims Tribunal, dalam tatanan konsep memiliki potensi menjadi pilihan penyelesaian sengketa konsumen yang diminati.Potensi-potensi tersebut antara lain : BPSK menjembatani antara mekanisme ADR (Alternatif Dispute Resolution) yang simple dan fleksibel dengan mekanisme pengadilan yang dimiliki otoritas; perpaduan ketiga unsure yang seimbang (Konsumen,pelaku Usaha dan pemerintah) dalam BPSK merupakan kekuatan dalam menyelaraskan konflik kepentingan; BPSK berfungsi
sebagai “ Quasi Pengadilan Plus” (fungsi ajudikasi dan non ajudikasi); dan berdasarkan konsep yuridisnya BPSK berkedudukan di setiap Kota/Kabupaten. Jadi setidaknya jika dijalankan dengan baik BPSK telah memenuhi prinsip pengelolaan lembaga penyelesaian sengketa.

Dalam kenyataannya BPSK hingga kini justru semakin kehilangan pamor. Masyarakat pada umumnya lebih familiar dengan LPKSM semacam YLKI dari pada BPSK. Di sisi lain Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) kerap’kebanjiran’adauan dari konsumen. Atas aduan ini, YLKI biasanya memfasilitasi perdamaian antara pelaku usaha dan konsumen yang terkait. Pada prakteknya, dalam mendamaikan aduan konsumen ini, YLKI secara tidak langsung telah melakukan konsiliasi dan mediasi layaknya kewenangan BPSK. Dalam tahap konsiliasi ini, YLKI berusaha mempertemukan pelaku usaha dengan konsumen. Biasanya sengketa bias selesai di tahap ini. Jika konsiliasi ini gagal, YLKI masih bias menempuh langkah berikutnya, yaitu mediasi. Dalam tahap ini, YLKI memberikan nasihat kepada para pihak. Kalau perkaranya tidak terlalu rumit, biasanya juga berakhir di tahap mediasi ini. Tapi kalau tidak tercapai titik temu, akan direkomendasikannya ke BPSK6. Dalam konteks sengketa konsumen, kehadiran BPSK yang dibentuk pemerintah, semestinya bisa menjadi bagian dari upaya perlindungan konsumen ketika sengketa dengan pelaku usaha. Pemerintah sebagai institusi pembentuk BPSK rasanya kurang serius dalam pengembangan BPSK sehingga benar-benar bisa menjadi optimal.Kesan umum yang nampak baik pemerintah pusat maupun daerah lebih sibuk mengejar dan melayani investor dari pada memikirkan kepentingan publik termasuk hak-hak konsumen. Diantara kendala-kendala yang bersifat multidimensi dalam pengelolaan BPSK, terdapat dua hal yang menjadi sumber persoalan yakni keberadaan peraturan perundang-undangan dan sumber daya manusia. Kedua persoalan tersebut saling terkait dan menyebabkan munculnya persoalan-persoalan lain yang mengakibatkan kurang berperannya BPSK selama ini.

Selain hal tersebut diatas persyaratan bagi anggota BPSK yang diatur dalam Kepmenperindag RI No. 301/MPP/Kep/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian, Anggota dan Sekretariat BPSK Nampak lebih mengedepankan aspek formal dari pada kapasitas maupun kompetensinya. Misalnya saja persyaratan pangkal/ golongan tertentu
(minimal Pembina/Iva)bagi anggota BPSK dari unsur pemerintah seringkali mempersulit dalam pencarian dan perekrutan orang yang tepat. Pada umumnya pegawai pemerintah di daerah dengan golongan pangkat tersebut telah menduduki jabatan yang penting. Establish dan tentunya’ amat sibuk’ dengan tugas dinasnya sehingga sulit terlibat aktif dan progresif di BPSK. Padahal SDM sangat penting dalam menunjang operasional dan pengembangan BPSK. 

DAFTAR PUSTAKA :

Ahmmmadi Miru dan Suratman Yodo, 2005. Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Wali, Jakarta.
Aries Kurniawan, 2008, Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen, Kompas 6 Agustus 2008.
Al.Wisnubroto, 2009. Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen Butuh Progresivitas, Hukum Online.Com, 9 Mei 2009.
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta.

JUDUL KELOMPOK                 : PENYELESAIAN SENGKETA
NAMA KELOMPOK                :
1.      ANNISAA EL HUSNA A                (20212986)
2.      EKA ERNAWATI                           (22212401)
3.      FITRIYAH                                       (23212020)
4.      SYAHRUL RAMADHAN               (27212242)

KELAS                                      :   2EB12


0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

JURNAL PENYELESAIAN SENGKETA 1

Diposting oleh Unknown di 15.02
Judul Jurnal :


BEBERAPA PEMIKIRAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DIBIDANG
EKONOMI DAN KEUANGAN DILUAR PENGADILAN

Identitas Pengarang :
-Prof. Dr. Mariam Darus, SH.

ISI :

Undang-undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor
14 Tahun 1970 (UU Pokok Kekuasaan Kehakiman) menyerahkan kekuasaan kehakiman
pada Badan Peradilan, yaita peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan
peradilan tata usaha negara yarag masing-masing diatur dalam undang-undang
tersendiri.

UU ini menentukan pula bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan (Out of
Court Settlement (OCS)) atas dasar perdamaian atau arbitrase tetap diperbolehkan, akan
tetapi putusan arbiter hanya mempuyai kekuatan eksekutorial setelah izin atau perintah
untuk eksekusi (executoir) dari Pengadilan (Ps. 3 ayat (I) UU Pokok Kekuasaan
Kehakiman).

Penyelesaian sengketa melalui perdamaian berakar dalam budaya masyarakat.
Dilingkungan masyarakat adat (tradisional) dikenal runggun adat, kerapatan adat,
peradilan adat atau peradilan desa. Lembaga musyawarah, mufakat dan tenggang rasa
merupakan falsafah negara yang digali dari hukum adat, dipratekkan dalam kehidupan
sehari-hari.

Hukum positif mengatur perdamaian ini didalam pasal 130 ayat (1) HIR. Dikatakan
bahwa perdamaian boleh dilakukan antara para pihak yang bersengketa dan perdamaian
itu dituangkan dalam akte perdamaian, yang mempunyai kekuatan hukum tetap seperti
putusan hakim dan bersifat final, artinya tidak boleh dilakukan banding atau kasasi.
Didalam perjalanan waktu, ikatan kekeluargaan yang berdasarkan paguyuban
(gemeenschappelijke verhoudingen) memudar dan berkembang kearah masyarakat yang
peternbayan (zakelijke gemeenschap) dimana perhitungan untung rugi lebih menonjol,

PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL KE VIII, Bali, tanggal 14 s/d 18 Juli 2003.
maka lembaga peradilan dijadikan wadah untuk menyelesaikan sengketa, karena
perangkat hukum yang tersedia telah memperoleh bentuk yang lengkap dan sempurna.
Namun dilingkungan masyarakat pedagang yang membutuhkan gerak cepat, terlibat
dalam hubungan-hubungan global, maka perhitungan untung rugi terjadi dalam momenmomen
dalam hitungan detik, bukan jam, hari dan bulan serta perhitungan biaya menjadi
unsur penting, maka jika timbul sengketa dibutuhkan penyelesaian yang dan tepat serta
dapat dilaksanakan (eksekusi). Memasuki era globalisasi dirasakan kebutuhan untuk
meningkatkan kesejahteraan melalui perbaikan perangkat hukum dalam bidang ekonomi
keuangan beserta penyelesaian sengketa yang timbul daripadanya sangat mendesak dan
karena itu perlu disempurnakan.

B. PENYELESAIAN SENGKETA BERDlMENSI HUKUM PERDATA
I. Arbitrase dan APSU
Pada tahun 1999 dengan UU Nomor 30 Tahun 1999 telah diundangkan UU Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APSU). UU ini adalah pembaharuan dari pasal
615 sampai dengan pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtsvoredering. Staatblad 1847 : 52) dan pasal 377 Reglemen Indonesia yang
diperbaharui (Het Herziene lndonesisch Reglement, Staatblad 1941 : 44 dan pasal 705
Reglement acara untuk daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Bujtenewesten,
Staatblad 1927: 227)

UU Arbitrase dan APSU Nomor 30 Tahun 1999 merupakan aturan pokok dari APSU.
Menurut Penulis, Arbitrase adalah salah satu bentuk dari APSU. Lembaga Arbitrase
disebutkan di dalam UU itu, karena sudah mempunyai bentuk tertentu dan pasti yang
dituangkan secara khsusus. APSU adalah pengertian genus, yang didalam UU itu disebut
konsukasi, negosiasi, konsiliasi dan negosiasi. APSU hanya diatur di dalam 1 (satu)
ketentuan, yaitu Pasal 6 tanpa Penjelasan. APSU ini masih mencari bentuk yang kokoh
yang memberikan kepastian hukum. Bagaimana operasional / teknis proses APSU masih
dalam perkembangan dan hal ini tidak memadai dan tidak akan menjadi pilihan, jika
dibiarkan hanya pada kebiasaan dan praktek. Untuk itu perlu dipikirkan untuk membentuk
Lembaga APSU yang setara dengan Lembaga Arbitrase seperti BANI dan BAMUI.

II. Penyelesaian Sengketa Berdimensi Hukum Perdata Dalam Undang-Undang
Khusus.
Disamping UU Pokok itu terdapat sejumlah undang-undang yang mengatur Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) untuk bidang-bidang tertentu. Jika di dalam
bidang-bidang itu terjadi sengketa maka para pihak yang bersengketa wajib menempuh
penyelesaian yang diatur oleh UU itu (compulsory dispute resolution). UU itu adalah
sebagai berikut:
1) Arbitrase, mediasi dan lembaga penyelesaian perselisihan industrial (UU tentang
Ketenagakerjaan Nomor 25 Tahun 1997);
2) Arbitrase dan musyawarah untuk mencapai mufakat diantara para pihak yang
berselisih (UU tentang Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 32 Tahun 1997);
3) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (UU tentang Perlindungan Konsumen
Nomor 8 Tahun 1999);
4) Penggunaan jasa pihak ketiga yang disepakati para pihak yang dibentuk
masyarakat jasa konstruksi atau Pemerintah (UU tentang Jasa Konstruksi Nomor
18 Tahun 1999);
5) Penggunaan jasa pihak ketiga yang dapat dibentuk oleh masyarakat atau
Pemerintah yaitu lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa
lingkungan hidup (UU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun
1997);
6) Arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (UU tentang Merek Nomor 15
Tahun 2001);
7) Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk menyelesaikan sengketa dalam
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (UU tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Nomor 5 Tahun 1999)
Dengan adanya UU diatas, maka ruang lingkup UU Arbitrase dan APSU menjadi
lebih sempit penggunaannya karena sengketa yang terjadi didalam bidang-bidang
tersebut diatas wajib diselesaikan menurut UU itu (Compulsory Dispute Resolution).

C. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI DAN KEUANGAN BERDIMENSI HUKUM
PUBLIK
Di bidang ekonomi dan keuangan penyelesaian sengketa diselesaikan melalui
lembaga-lembaga khusus sebagai berikut :
1. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) / Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara (BUPLN) ditemukan dalam UU Nomor 49 Prp 1960;
2. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ditemukan dalam UU Nomor 10
Tahun 1998 jo. PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang BPPN;
3. Bapepam ditemukan dalam UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Pasar Modal.
UU diatas mengandung karakter APS yang berbeda dengan karakter APSU yang
berbentuk Arbitrase dan bukan Arbitrase (konsultasi, negosiasi, konsiliasi, mediasi). Hal
ini lebih jauh akan dianalisa kemudian.

D. ARBITRASE
1. Definisi
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sangketa perdata diluar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa (Ps.1 ayat (1)). Dalam Ps. 5 ayat (1) ditentukan bahwa sengketa yang
dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan
mengenai hak menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya
oleh pihak yang bersengketa.
Para pihak adalah subyek hukum baik menurut hukum perdata maupun publik.


DAFTAR PUSTAKA


Mantayborbir SH., M.H., et al. Pengurusan Piutang Negara Macet pada PUPN/BPUPLN,
Pustaka Bangsa Press, 2001
---------. Hukum piutang dan lelang negara di Indonesia.
Mariam Darus, S.H., Prof. Dr. et al., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, 2001
---------. Perjanjian Kredit Bank, Alumni, 1978
---------. Aneka Hukum Bisnis, Alumni, 1994
Pusat Pengkajian Hukum & Mahkamah Agung. Perjanjian-Perjanjian Dalam Rangka
Restrukturisasi, Lokakarya Terbatas, Juli 2002
Remy Sjahdeini. S.H., Prof. Dr. Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, 2002
Romli Atmasasmita. S.H., LL.M., Prof. Dr. Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada
Media. 2003


JUDUL KELOMPOK                 : PENYELESAIAN SENGKETA
NAMA KELOMPOK                :
1.      ANNISAA EL HUSNA A                (20212986)
2.      EKA ERNAWATI                           (22212401)
3.      FITRIYAH                                       (23212020)
4.      SYAHRUL RAMADHAN               (27212242)

KELAS                                      :   2EB12

0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners



Gratisan Musik

Free SMS

Shalat Prayer

Blog Archive

  • ►  2015 (10)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (2)
  • ▼  2014 (8)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ▼  Mei (3)
      • JURNAL PENYELESAIAN SENGKETA 3
      • JURNAL PENYELESAIAN SENGKETA 2
      • JURNAL PENYELESAIAN SENGKETA 1
  • ►  2013 (22)
    • ►  November (10)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2012 (14)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (5)

Followers

Daftar Blog Saya

  • Gunadarma University
  • Integrated.Virtual.System - Login

Laman

  • Beranda
Annisaa el husna.blogspot - 2012. Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Pengikut

Mengenai Saya

Unknown
Lihat profil lengkapku

Arsip Blog

  • ►  2015 (10)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (2)
  • ▼  2014 (8)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ▼  Mei (3)
      • JURNAL PENYELESAIAN SENGKETA 3
      • JURNAL PENYELESAIAN SENGKETA 2
      • JURNAL PENYELESAIAN SENGKETA 1
  • ►  2013 (22)
    • ►  November (10)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2012 (14)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (5)

Langganan

Postingan
Atom
Postingan
Semua Komentar
Atom
Semua Komentar
 

© 2010 My Web Blog
designed by DT Website Templates | Bloggerized by Agus Ramadhani | Zoomtemplate.com